Mitos “Sistem Tanda” Personal Branding

Mitos “Sistem Tanda” Personal Branding


Roland Barthes—mungkin seketika Anda urung melanjutkan membaca karena merasa esai ini akan sangat berat, dan itulah perkara “sistem tanda” kita yang malang—saya pikir tengah menggeniti semua kita ketika menyatakan bahwa fashion alias busana merupakan sebuah sistem tanda mitologi. Fashion adalah pabrik mitos!

Masih adakah di antara kita yang ketika membeli sebuah baju semata berpikir untuk melindungi tubuh dari panas atau dingin? Tidak ada! Semua kita setiap memutuskan membeli sebuah baju, berkelas sunmor atau branded, menabalkannya sebagai perjuangan mempercantik/mempertampan diri. Benar memang, beginilah sistem tanda fashion kita bekerja kini.

Ada Syahrini, misal, yang senantiasa tampil serba matching: dari bando, lipstik, baju, tas, jam tangan, celana, pula sepatu. Ambil kalkulator, lalu hitunglah berapa harga “sistem tanda mitologi” yang diproduksi Syahrini sebagai personal branding-nya? Celaka, ternyata rumah Anda tak ada apa-apanya dibanding harga seperangkat sistem tanda Syahrini. Sebuah tasnya telah menang telak ternyata!

Itu baru satu outfit of the day. Bila Syahrini berumur 50 tahun dan mulai membangun sistem tanda demikian sejak usia 25 tahun, lalu setiap koleksi outfit­-nya hanya dipakai satu kali, itu berarti Syahrini membutuhkan 25 kali 365 hari, yakni 9.125! Ada 9.125 rumah yang ditaklukkan oleh sesosok Syahrini.

Begitulah personal branding dicipta, begitulah sistem tanda mitologi itu dirayakan sepenuh jerih lagi kepalang payah.

Orang kekinian makin rela benar melakukan hal-hal tak masuk akal setamsil—sebagian didapuk dengan cara-cara nekat ala loser—sebagai perjuangan realisasi “imajinasi mitos” yang ditanam di tempurung kepala. Bahwa saya harus selalu kelihatan fresh, unyu, unik, branded, trendsetter, smart, tanpa jerawat, seksi, semlohai, bahkan tak pernah kentut demi maksimalisasi ganjen, menjadi citra personal yang kita rayakan.

Apa pun imajinasi yang kita rengkuh untuk diri kita, demikianlah kita, dalam ungkapan Jean-Paul Sartre, “menciptakan proyeksi dari suatu ketiadaan menjadi (seolah) benar-benar ada”. Imajinasi, kita tahu, adalah sebuah simulasi, maket, proyeksi masa depan.

Kita membayangkan bahwa ketika kita bepergian ke sebuah mal, misal, dengan bercelana slim-fit, bersepatu Converse, rambut mohawk, sebagai personal branding, kita sontak tertampilkan di mata sepapasan orang-orang sebagai “si keren”. Itulah proyeksi imajinasi yang kita ciptakan dari ketiadaan, begitulah cara kerja simulasi di kepala kita.

Perihal karakter “si keren” itu benar-benar kita raih atau justru memualkan, kita tak punya hak sama sekali untuk memaksanya. Itu mutlak milik semua orang di luar diri kita. Kita sepenuhnya subjek yang diobjekkan oleh subjek kita sendiri, sehingga orang-orang lain menjadi subjek penentu maujud objek kita. Sedih sekali, bukan?

Betapa kerap kita menggumam di telinga sendiri tentang noraknya gadis di depan mata dengan hot pants, tank top, heels, rambut pirang, dan i-Phone yang tak pernah tanggal dari tangan, lantaran kulitnya penuh bekas borok dan perutnya diselubungi lemak-lemak. Bukankah acap sekali kita menelan ludah kecewa pada sesosok BMW (Bodi Mengalahkan Wajah) yang dari belakang tampaknya Kim Kardashian tetapi dari depan begitulah?

Itulah sistem tanda yang kita produksi dengan sadar pada diri kita sendiri, personal branding kita. Padahal ia semutlaknya mitos belaka! Kita adalah makhluk yang selalu memitologikan diri sendiri pada sebuah karakter melalui sebuah sistem simbol kewujudan—dari gaya bicara, habit, busana, dan pandangan-pandangan.

Dari Jepang, misal, lahir sistem tanda harajuku sebagai subkultur Teknoko-zoku yang mulanya berlokasi di antara Shinjuku dan Shibuya. Dengan dandanan yang menyolok superganjil, penampakan mereka sangat mudah dikenali. Mereka adalah para subjek yang mengesahkan diri jadi objek, lalu memitologikannya sebagai personal branding.

Dari Eropa yang lantas meluas ke seantero dunia, kita menjumpai sistem tanda punk. Sebuah aksi hipster yang memberontaki hegemoni kultur, bertipikal anti-kemapanan, yang kian meroket seiring mendunianya aliran musik Sex Pistol. Ia tampil sebagai sebuah subkultur “distinction”.

Lalu kita pun kenal sistem tanda metal yang identik dengan rambut gondrong dan busana serba hitam. Subkultur ini pada dasarnya sejalan dengan punk, misal, tetapi mengambil karakter yang jauh berbeda. Mereka menjelma hipster pada garisnya sendiri.

Di dekat kehidupan kita, membuhul pula sistem tanda syar’i—bersebelahan dengan sistem tanda yang diklaim non-syar’i semacam jilboobs. Jika sistem tanda busana dan lifestyle syar’i direpresentasikan melalui model hijab dan jilbab lebar, jilboobs mengambil arah sebaliknya—baju ketat dengan balutan jilbab modis.

Kedua sistem tanda ini pada jejak historisnya sama-sama bersumber pada dogma dan tradisi busana muslimah, tetapi berbeda wadag subkulturnya. Walhasil, karakter yang termitologisasikan pula berbeda—yang satu, syar’i, ditashihkan sebagai “sesuai Alqur’an dan tuntunan rasul” dan yang satu lagi, jilboobs, diklaim sebagai “berjilbab tapi telanjang”.

Bila dua kutub subkultur ini ditarik ke perspektif hegemoni Gramsci, yang oleh Stuart Hall dikerucutkan pada tiga sudut (melawan, negosiasi, dan menerima), sistem tandanya pun tak jauh-jauh dari klaim Barthes perihal mitos. Mitos simplifikasi bahwa hijab syar’i sesuai dengan ajaran Islam dan hijab non-syar’i bertentangan dengan ajaran Islam.

Mengapa saya yakin diametri itu sama-sama beraras pada sistem tanda “mitos personal branding” ala Barthes?

Pada dasarnya, secara ontologis pergeseran makna busana, misal, dari keberadaannya sebagai penutup tubuh menjadi lifestyle, tak pernah terpisahkan dari sebuah sistem kebudayaan. Noami Wolf dalam Mitos Kecantikan, misal, mengatakan bahwa label-label cantik merupakan bagian dari sebuah sistem kebudayaan di suatu tempat dan zaman. Dan agama menjadi salah satu pemain utama di dalamnya.

Hijab syar’i sebagai produk sebuah sistem kebudayaan berbusana yang disahihkan oleh tata nilai agama (sebutlah surat al-Ahzab ayat 59) lantas diumbulkan sebagai “kewajiban sistem tanda”, sehingga lahirlah sebuah formulasi dominan darinya—untuk tidak diistilahkan hegemoni. Yang tidak sejamaah belumlah syar’i dan harus disyar’ikan. Satu sistem kebudayaan berobsesi menarik satu sistem kebudayaan lain ke dalamnya.

Tentu wajar belaka bila ada yang menerima, menegosiasi, dan melawannya. Jilboobs, pada derajat ini, merupakan sistem tanda yang menegosiasinya—mengiyakan sebagiannya sembari menggelengi sebagian lainnya. Di sebelahnya, ada pula kelompok muslimah yang menolak membangun sistem tanda tersendiri—tanpa jilbab. Mereka kerap berkata bahwa kualitas iman adalah perkara kualitas hati, tidak simplistis kebusanaan.

Maka tertaballah tiga klaim “tata nilai” darinya: yang satu menyebut “sesuai tuntunan Alqur’an”, yang tengah menyebut “proses menjadi syar’i”, dan yang satu lagi “syar’i dalam hati”. Takkan pernah ada titik temu pada ketiganya, dan memang demikianlah kita semua menciptakan segala “mitos” pada diri kita, yang kita yakini, yang kita anggap benar, yang kerap menggelincirkan kita pada pertikaian yang tak diperlukan.

Saya mafhum bila sebagian Anda gerah dengan penggunaan teori “mitos sistem tanda” yang saya nukil dari Barthes ini pada urusan busana syar’i. Tak mengapa—Anda berhak kecewa pada episteme memang, meski Anda tahu ontologi takkan pernah goyah. Secara episteme, sebagai muslim, jelas saya tak bertabik pada Barthes. Iman saya setamsil iman Anda, bahwa hijab bagi seorang muslimah adalah simbolisasi kepatuhan syariat.

Tetapi, sungguh sial, tepat pada titik ini pula, saya tak pernah kuasa menyangkal bahwa pandangan afektif-imperatif begini menjebak kita pada “mitos sistem tanda” pula. Kita ibarat memekik-mekik menolak kapitalisme tetapi di waktu yang sama kita menakjubi harum kopi luwak di sebuah mal yang branded.

Memang, kita sungguh mutlak percaya bahwa perkara lahiriah macam busana bukanlah hal utama dalam keimanan kita. Yang utama adalah perkara batin.

Bahwa isi batin, jagat iman, terekspresikan dalam simbol-simbol lahiriah, itu benar, tetapi tetap saja dimensi batin sebagai “jembatan diri dan Tuhan”—yang berbeda telak dengan dimensi lahiriah sebagai “jembatan manusia dan manusia”—merupakan ontologinya, hakikatnya. Bukankah sia-sia belaka saya shalat tetapi batin menghasratinya sebagai pamer? Bukankah sia-sia pula Anda berbusana sedetail pandangan hijab syar’i tetapi di detik yang sama batin menista hina muslimah lain yang tidak serigid penampilan Anda?

Sumir sekali memang sistem-sistem tanda ini jika dikaitkan dengan jagat batin. Ia pun tak mampu menyangkal gemetar betapa ia sekadar sebuah mistifikasi, mitologisasi—penabalan sistem tanda lahiriah yang artifisial pada batiniah yang suprarasional.

Bukankah memang selalu demikian personal branding kita kini?

Sumber: basabasi.co

Share This

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Designed By Blogger Templates