Benarkah Tere Liye itu Raja Midas?

Benarkah Tere Liye itu Raja Midas?


Jika Anda bertanya siapa novelis paling quoteable kepada anak-anak muda yang, katakanlah, suka membaca, mereka akan menjawab dengan ijmak: Tere Liye. Tak syak lagi, Tere Liye adalah novelis Indonesia mutakhir yang paling rajin menulis novel. Jumlah pengagumnya banyak.

Sepekan terakhir, Tere Liye menjadi trending topic di jagat media sosial. Kali ini terkait dengan statemen kontroversial di akun facebook miliknya. Ia menyoal apakah ada orang komunis, pemikir sosialis, aktivis HAM, dan pendukung liberal yang pernah bertarung hidup mati melawan serdadu Belanda, Inggris, atau Jepang? “Silakan cari,” serunya.

Media sosial gempar. Lalu mengalir arus kecaman bertubi-tubi. Kata-kata “goblok”, “buta sejarah”, “sok tahu”, dan sejumlah komentar sarkastis lainnya tanpa ampun teralamatkan. Tere Liye kemudian merilis klarifikasi di akunnya: ia tidak bermaksud mendiskreditkan peran pejuang-pejuang nonulama dan nonagamawan, tetapi hanya ingin mengingatkan bahwa peran ulama dan agamawan sangat besar.

Kata Tere Liye, pertanyaan “apakah ada” bukan kerangka pertanyaan untuk menyoal ulang atau meragukan, melainkan untuk mengingatkan agar penilaian masyarakat seimbang. Andai saya menjadi penasihat Tere Liye, tentu saya tidak akan merekomendasikan logika macam itu. Sebab orang-orang pesantren yang membacanya akan tersenyum geli.

Mereka pasti tahu, pertanyaan Tere Liye dalam kasus tersebut jelas bertendensi mengingkari. Dalam ‘Ilm al-Balâghah (ilmu logika), terdapat beberapa jenis pertanyaan (istifhâm) yang mengandung konotasi berbeda. Apabila pertanyaan itu muncul setelah statemen mayor yang kalimatnya positif kemudian diikuti langsung oleh statemen minor yang negatif, maka pertanyaan itu termasuk “pertanyaan bernada ingkar” (istifhâm inkâry).

Tere Liye petama-tama menyebut peran besar ulama atau orang-orang religius, kemudian memunculkan pertanyaan yang diarahkan kepada kelompok-kelompok nonulama atau nonreligius. Frasa “apakah ada” lalu diikuti “yang pernah”, jelas mendedahkan pertanyaan konotatif yang bercorak mengingkari (istifhâm inkâry), yakni mengingkari kelompok satu untuk mengunggulkan kelompok lain.

Pertanyaannya, mengapa muncul diaspora sikap terhadap statemen Tere Liye dengan preseden tegang: kelompok pengecam seolah menghendaki bahwa sastrawan tidak boleh keliru dan kelompok pembela menoleransi kekeliruan sastrawan dengan dalih sastrawan juga manusia?

Menurut Erving Goffman, dalam Interaction Ritual (1967), sikap terhadap seseorang dipengaruhi oleh apa yang ia sebut sebagai “pengelolaan kesan” (impression management). Kesan terbentuk oleh sejauh mana identifikasi personal berlangsung satu sama lain. Dari situlah muncul atraksi interpersonal (interpesonal attraction) yang berupa kecaman dan pembelaan.

Para pengecam menggunakan asas kompetensi (competency) sebagai pijakan, bahwa public figure tidak boleh melakukan kekeliruan. Di sebelahnya, para pembela menggunakan asas kedekatan dan keterkenalan (familiarity) sehingga mudah menoleransi kesalahan yang dibuat oleh sang idola. Lantas apa relevansi batas antara kekeliruan dan kebenaran dalam karya sastra?

Relevansi tersebut penting ditarik benang merahnya, sebab batas-batas relevansi akhirnya memengaruhi cara pandang seseorang. Orang boleh sesukanya berkomentar di media sosial, terlepas apakah komentar itu relevan atau tidak relevan dengan kesusastraan. Namun dalam konteks kerja analisis sastra yang baik, batas-batas itu harus dipertegas, meski kita tidak akan pernah mencapainya secara simetris.

“Kebohongan” dalam Sastra

Suatu ketika, Tom Spenbauer—novelis Amerika yang pernah menjadi relawan kemanusiaan di Kenya selama dua tahun—mendapat bisikan yang terus diulang-ulang oleh gurunya: “Fiction is the lie that tells the truth truer”.

Spenbauer memaknai kredo itu dengan hati-hati. Ia tak hendak mengafirmasi mentah-mentah bahwa fiksi merupakan partitur kebohongan. Fiksi, bagi Spenbauer, hanya semacam “kebohongan” dalam bentuknya yang lain: sejenis “kebohongan” yang dibunyikan untuk menceritakan suatu kebenaran menjadi semakin benar, semakin terang.

Spenbauer meyakini, terdapat elan-vital antara tulisan dan penulisnya, puisi dan penyairnya, sastra dan sastrawannya. Keterkoneksian yang fitri itu hanya boleh diawetkan melalui semangat untuk terus mengejar apa yang disebut dengan the truth truer.

Karena itu, sastra—meminjam terminologi Muhammad Al-Fayyadl—sesungguhnya merupakan perkakas seni “mempercantik kebenaran”, yang terkadang dengan “kebohongan”, terkadang dengan kenyataan. Ini persis dengan aporisme terkenal Nietzsche bahwa kesalahan adalah sejenis kebenaran yang tanpanya manusia tak bisa hidup. Pada sudut tema yang berbeda, Ibn ‘Arabi juga menarasikan hal serupa.

Nietzsche tidak berkeinginan membuat orang jatuh cinta pada kesalahan atau menceraikan orang dari kebenaran. Ia hanya mengajak kita untuk berpikir ulang tentang kebenaran, tentang kesalahan, dan bagaimana sikap kita terhadap keduanya. Atau bahkan tidak bersikap kepada dua-duanya.

Pada 1827, Thomas Carlyle menulis esai perihal keterkaitan lembut antara penyair dan puisinya, sastrawan dan karya sastranya, tangan dan setiap yang dilahirkannya. Barangkali Carlyle yang mula-mula menulis esai psikologi kepengarangan bahwa karya sastra adalah suara paling diam pengarangnya.

Bisakah “mengadili” kesalahan Tere Liye hanya berdasarkan statemen konyol di media sosial? Jawabannya tentu bisa sejauh kita bersepakat bahwa instrumen sikap atau emosi yang tercerai-berai (misal penulis dalam tulisannya atau seniman dalam karya seninya) masih mungkin disatukan oleh satu kesatuan perseptual (Gelstat)—bahwa Tere Liye yang menulis statemen kontroversial itu adalah juga Tere Liye yang menulis Negeri Para Bedebah, Negeri di Ujung Tanduk, Rembulan Tenggelam di Wajahmu, Rindu, dan lain-lain.

Bisakah—dengan merujuk Spenbauer—statemen Tere Liye di akun facebook-nya itu kita dapuk sebagai semacam “kebohongan” (mendiskreditkan peran tokoh komunis, sosialis, dan lain-lain) untuk mewartakan kebenaran semakin benar (peran besar ulama tidak disepelekan)? Saya pikir belum bisa. Sebab apa yang dianggap “tidak seimbang” oleh Tere Liye tidak memiliki realitas objektifnya. Hampir semua elemen mengakui peran besar ulama, kiai, dan para pemuka agama dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Ketika Ken Hanggara (basabasi.co, November 2015), menyebut Tere Liye sebagai si Raja Midas, karena dianggap mampu menulis pusparagam genre novel, saya terus terang ragu. Saya tidak melihat Raja Midas di dalam diri Tere Liye, kecuali dalam kelihaiannya membaca perkembangan emosi anak-anak muda masa kini yang ia sasar sebagai segmentasi pembacanya. Atau, jangan-jangan selera sastra saya yang buruk? Entah.

Sumber: basabasi.co

Share This

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Designed By Blogger Templates