Jenis-jenis Tulisan Nonfiksi
Jenis-jenis Tulisan Nonfiksi
Di bagian akhir ini, saya akan menyinggung tentang ragam jenis tulisan non fiksi selain artikel itu. Ehhmm, pada prinsipnya, semua tulisan non fiksi itu berkarakter sama, yakni ilmiah. Tidak banyak perbedaan dalam hal strukturnya. Kisi-kisinya formalnya doang yang sebagian berbeda.
1. Makalah/Skripsi/Tesis/Disertasi
Jenis tulisan ini memiliki struktur dan watak yang sama. Full ilmiah! Full formalitasnya!
Jenis tulisan ini sangat ketat dan baku menerapkan prinsip keilmiahannya. Seperti kewajiban penggunaan judul yang formal, catatan kaki, daftar pustaka, kerangka teori, metodologi, rumusan masalah, dll. Demikian pula dalam pilihan bahasanya, haruslah sepenuhnya formal dan baku secara akademik.
Sepanjang amatan saya, masalah umum yang dialami karya sejenis skripsi atau tesis atau disertasi ini bahkan ialah banyaknya penulis yang mengalami “kegagalan menerapkan kerangka teori”.
Sesungguhnya, penggunaan kerangka teori di sini adalah sebagai “landasan teori untuk membedah rumusan masalah yang diangkat”, bukan gagah-gagahan formal belaka. Perbedaan penggunaan sebuah teori sebagai landasan pisau bedahnya, jelas akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda sekalipun tentang tema yang sama.
Misal, menulis skripsi tentang Negara Islam.
Jika menggunakan kerangka teori Abul A’la al-Maududi niscaya akan beda kesimpulannya dengan jika kau menggunakan kerangka teori Nurcholis Madjid. Sayangnya, sebagian besar karya skripsi, tesis, dan bahkan disertasi banyak yang menjadikan kerangka teori semata pemenuhan formalitas belaka, bukan landasan pisau analisanya.
Misal lain, menulis skripsi tentang Public Sphere berdasar teori Anthony Giddens dan Wilfred Whitehead atau pun Bryan S. Turney seharusnya menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula. Sebab setiap teori pastilah memiliki poin-poin yang berbeda.
2. Esai
Esai secara struktur dan watak sepenuhnya sama dengan artikel. Jika pun diminta untuk menunjukkan perbedaannya, ia hanya terletak pada sifat esai yang lebih berpola “tuturan saya” (penulis). Artinya, esai itu lebih santai dibanding artikel. Namun ya tentu saja ia tetaplah harus ilmiah.
Misal, kau ingin mengulas lukisan karya Djoko Pekik.
Jika kau menuliskannya dengan sepenuhnya ilmiah, maka itu jadinya artikel. Tapi jika kau menuliskannya dengan lebih ringan dan santai, maka ia jatuhnya ke esai.
Jadi, esai itu bolehlah disebut sebagai “adik artikel” secara formalitas keilmiahannya.
3. Feature
Tulisan jenis ini semacam “reportase” terhadap sesuatu obyek yang kau alami dan tuliskan kemudian. Ia menyingkap semua sisi sebuah obyek yang dituliskan itu dengan bahasa yang sederhana dan memang cenderung didominasi oleh pemikiran subyektif penulisnya.
Jika kau tahu buku Trinity yang The Naked Traveler atau postingan-postingan saya di blog tentang event Kampus Fiksi atau perjalanan ke Turki, itulah contoh-contoh feature.
Sebagian orang mengetahuinya dengan sebutan “tulisan catatan”. Ia tidak harus tentang traveling sih, perjalanan gitu. Ia bisa berupa apa pun. Misal pengalaman menjalankan puasa Ramadhan tahun 2013. Pengalaman patah hati karena terlalu percaya pada PHP. Pengalaman ngejomblo bukan sebab alasan ideologis, tapi semata ketiadaan pilihan akibat desakan keadaan. Misalllllll lho ya. Misaalllllllll aja kok. J
Ya, bebas, boleh apa saja.
4. Resensi
Jenis tulisan ini khusus untuk bedah buku atau film. Bedah perasaan tidak termasuk di sini. Sebagai sebuah karya bedahan, maka ia harus mampu meringkas, memaparkan, dan memberikan penilaian pada kandungan buku atau film tersebut.
Membaca bukunya jelas harus dilakukan dulu. Mendeteksi plus minusnya jelas harus dipetakan dulu.
Resensi bisa dilakukan dengan cara murni mengulas buku itu atau membandingkannya dengan buku setema yang sudah pernah ada sebelumnya. Tujuan dari jenis tulisan ini ialah memberikan informasi kepada masyarakat tentang kandungan sebuah buku, plus-minusnya, kualitasnya, hingga rekomendasinya.
Akan lebih baik, kau kutip beberapa bagian penting dari buku itu, lalu sertakan halamannya. Ini akan kian meyakinkan pembaca tentang mutu resensimu. Dan jangan lupa pula, sertakan spek buku tersebut dengan detail di awal tulisanmu: judul, penulis, penerbit, tahun cetakannya, jumlah halaman, kover buku, dan jika bisa sekaligus harganya.
Ideal, menulis resensi harus membacanya dulu sampai tuntas. Tapi juga bisa, teruatama jika kau sudah punya jam terbang tinggi, kau “hanya membaca” secara skimming, quick reading. Baca kata pengantarnya, daftar isinya, kesimpulannya, dan halaman pokok topiknya. Dapat poin besarnya, pegang plus-minusnya, sudah.
Enaknya jadi peresensi ialah dapat fee dari media massa yang memuat tulisanmu, plus dapat bonus buku gratis dari penerbitnya, dan sebagian penerbit masih menambahkan uang juga.
Enak, kan?
Bisa bikin perpustakaan pribadi, atau yang bakat dagang, dijual lagi itu buku-buku hadiahnya via online. Haaaa….
5. Personal Literature (Pelit)
Publik cenderung kenal jenis tulisan ini sebagai bagian dari fiksi. Tapi, tulisan jenis ini ada lho yang tidak fiktif, alias masuk tulisan ilmiah pula.
Ia adalah jenis tulisan yang dekat dengan feature tadi, hanya saja bisa bertama apa saja, seperti buku motivasi, baik umum atau religi.
Misal, saya pernah nulis tentang Jangan Memasak di Ruang Tamu. Isinya adalah pendapat saya tentang tidak baiknya mengumbar masalah pribadi apa pun di sosmed. Di dalamnya terdapat ulasan intersubyektif, sekalipun sebagiannya berkemas cerita. Tapi ia tetaplah sebuah karya yang berkategori ilmiah sebenarnya, sebab tidak fiktif.
6. Ngeblog
Membuat blog dan memposting tulisan-tulisanmu di sana merupakan aktivitas wajib bagi setiap penulis. Ia bisa jadi wadahmu untuk berlatih, berkreasi, dan membangun jaringan. Bergabung dengan komunitas-komunitas pun menjadi langkah yang buat saya sangat penting.
Ingat, Kawan, menjadi penulis itu butuh pembaca, dan meraih jumlah pembaca yang besar tidaklah mudah. Ia harus ditempuh dengan cara merintis jaringan. Dan di era sosmed gini, kau sangat diuntungkan dengan adanya blog, tweter, facebook, dll. Maka, rangkullah sosmed itu. Jangan haramin dia deh, sekalipun memang blog, tweter, facebok, dll., itu jelas bid’ah, sebagaimana diriwayatkan Ucup yang mukanya juga bid’ah itu. Ngoaahhaaa….
Hanya saja, saya juga ingin mengingatkan di sini bahwa jika kau berniat menerbitkan tulisan-tulisanmu dalam sebuah buku, seharusnya tulisan-tulisan tersebut jangan diposting di sosmed. Ya, tulisan yang sama. Penerbit enggan untuk menerbitkan buku yang materinya sudah tersebar luas begitu. Sebab, itu tentu sudah mengurangi jumlah peluang pembeli yang mungkin akan membeli bukumu kelak.
7. Attitude
Ya, sama saja dengan menulis fiksi, penulis non fiksi juga akan bekerjasama dengan banyak pihak dalam perjalanan proses kreatifnya. Mulai penerbit, redaktur, hingga pembaca.
Kerjasama apa pun akan langgeng jika berjalan dengan saling menguntuingkan, etik, dan elok. So, memastikan attitude-mu keren, jelas adalah kewajiban buatmu.
Begitu, Kawan, semoga ini bisa membantu kalian ya untuk belajar dan berlatih menjadi penulis non fiksi yang tsakep.
Last, ingat selalu, bahwa menulis itu adalah menulis itu sendiri, berlatih itu sendiri, berdarah-darah itu sendiri. Tanpa menjadikan dirimu tahan banting dalam proses panjang itu, sangatlah mustahil kau bakal beneran menjadi penulis yang tsakep!
Jika kau sanggup tahan banting dalam kesendirian begitu, kenapa kau begitu rapuh dalam menempuh proses kreatif menulis?
Share This
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Designed By Blogger Templates
Tidak ada komentar:
Posting Komentar