Saur Sepuh di Layar Lebar

Saur Sepuh di Layar Lebar


Setelah sandiwara radionya sukses dan menjadi populer secara nasional, Saur Sepuh merambah ke layar lebar pada tahun 1987. Bekerjasama dengan Kanta Indah Film, Kalbe Farma turut mendanai pembuatan film Saur Sepuh yang disutradarai oleh sutradara ternama Imam Tantowi. Saur Sepuh akhirnya dirilis di film layar lebar secara nasional pada tahun 1987, dan setelah sukses besarnya juga diikuti oleh empat film sekuelnya dalam sebuah waralaba. Lima film serial Saur Sepuh tersebut yaitu:

    Saur Sepuh: Satria Madangkara (1987)

Film Saur Sepuh: Satria Madangkara terjadi pada latar zaman kerajaan Majapahit. Film ini dirilis tahun 1987, dengan disutradarai oleh Imam Tantowi dan dibintangi oleh Fendi Pradana sebagai Brama Kumbara, Elly Ermawatie (yang juga mengisi suara Mantili dalam versi sandiwara radionya) sebagai Mantili, dan Murti Sari Dewi sebagai Lasmini.

Bibit konflik dan peperangan mulai tumbuh di bumi Kerajaan Majapahit setelah Bhre Wirabhumi mendirikan Kerajaan Pamotan dan bertekad untuk merebut tahta kerajaan besar yang menjadi besar di bawah kepemimpinan ayahnya, Prabu Hayam Wuruk, dari tangan Wikramawardhana, menantu ayahnya tersebut.

Dalam kekacauan tersebut, kekasih Lasmini, seorang hulubalang dari Kerajaan Pamotan, tewas di tangan Brama Kumbara karena telah membunuh utusan dari Kerajaan Madangkara yang berniat mendamaikan pertikaian Kerajaan Pamotan dan Majapahit. Lasmini tidak terima atas kematian kekasihnya tersebut sehingga menuntut balas pada Brama Kumbara, seorang satria gagah berani dan bersahaja dari Kerajaan Madangkara yang menjadi buah bibir di warga Madangkara.

Akan tetapi ketika berhadapan dengan Brama Kumbara, Lasmini menjadi terpikat dan jatuh hati pada Brama, namun dia juga menjadi muak pada Mantili, adik kesayangan Brama. Kisah ini menjadi awal mula kisah cinta tragis dalam serial Saur Sepuh, dimana cinta Lasmini pada Brama tidak terbalas dan menjadi musuh bebuyutan Mantili.

    Saur Sepuh II: Pesanggrahan Keramat (1988)

Setelah sukses lewat Satria Madangkara, Kanta Indah Film kembali memproduksi sekuel dari film pertamanya dengan judul Pesanggrahan Keramat. Film yang dirilis tahun 1988 ini kembali disutradarai oleh Imam Tantowi dan masih menggunakan pemeran-pemeran yang sama dengan Satria Madangkara.

Dalam Pesanggrahan Keramat, makam dari guru Brama Kumbara dibakar dan dirusak oleh komplotan yang dipimpin Ki Jara dan Ki Lugina yang di dukung oleh Karti, seorang saudagar dari Kuntala. Brama menjadi murka dan menuntut balas pada orang-orang yang telah membakar makam gurunya.

Film ini menggambarkan adegan-adegannya secara sesuai dengan yang diceritakan dalam versi sandiwara radionya. Antara lain dalam adegan dimana Brama dilempar pisau, namun tiba-tiba menghilang dan muncul di belakang orang yang hendak membunuhnya.

    Saur Sepuh III: Kembang Gunung Lawu (1988)

Setelah sukses kedua kalinya lewat Pesanggrahan Keramat, Kanta Indah Film kembali memproduksi Kembang Gunung Lawu sebagai bagian waralaba Saur Sepuh.

Kembang Gunung Lawu dirilis tahun 1988 dan kembali disutradarai oleh Imam Tantowi dan masih menggunakan pemeran-pemeran yang sama dengan Satria Madangkara. Film ini berkisah tentang latar belakang Lasmini, salah satu tokoh utama dalam kisah cinta tragis Saur Sepuh, yang dikenal dengan nama "Kembang Gunung Lawu" dengan perguruan "Anggrek Jingga"-nya.

Lasmini adalah istri dari seorang pedagang di Kawali yang diperkosa oleh anak buah suaminya dan kemudian dibuang ke jurang. Dalam keadaan sekarat, Lasmini mendapat pertolongan dari seorang nenek tua yang kelak akan menjadi gurunya. Setelah berilmu, Lasmini kembali ke Kawali dan menuntut balas secara keji ke orang-orang yang telah memperkosa dan membuangnya.

Tindakan Lasmini yang sewenang-wenang mengundang Mantili untuk ikut berduel, walaupun pada akhirnya kalah oleh kesaktian Lasmini. Dengan ajaran ajian Srigunting dari kakaknya, Prabu Brama Kumbara, Mantili kembali berduel dengan Lasmini. Dengan latar duel di pantai yang penuh dengan efek khusus yang memukau penonton kala itu, film ini banyak menarik penonton perfilman Indonesia kala itu.

    Saur Sepuh IV: Titisan Darah Biru (1991)

Dirilis pada tahun 1991, Titisan Darah Biru menceritakan tentang generasi kedua dari Kerajaan Madangkara dengan tokoh utama Raden Wanapati, Raden Bentar, dan Garnis Waningyun. Titisan Darah Biru dibintangi oleh Adi Kuncoro sebagai Wanapati, Candy Satrio sebagai Bentar dan Devi permatasari sebagai Garnis Waningyun. Secara keseluruhan film ini dinilai mengalami kemajuan dibanding film-film pendahulunya dari segi penataan musiknya.

Cerita dalam Titisan Darah Biru cenderung lepas dari film-film pendahulunya. Film ini menceritakan tentang kepemimpinan Wanapati yang cenderung emosional sehingga banyak menghadapi tentangan dari kaum sesepuh kerajaan Madangkara. Sementara sang Prabu Brama Kumbara yang sedang bertapa hanya menjadi tokoh pembantu dalam film ini.

    Saur Sepuh V: Istana Atap Langit (1992)

Istana Atap Langit merupakan film terakhir dalam serial waralaba Saur Sepuh yang dirilis tahun 1992 dan disutradarai Torro Margens. Walaupun Imam Tantowi tidak kembali menyutradarai film ini, Istana Atap Langit dinilai sebagai bagian serial waralaba layar lebar Saur Sepuh yang terbagus dari segi kualitas, efek khusus, tata suara serta ilustrasi musik.

Cerita dalam film ini juga lebih tepat dimasukkan ke dalam kisah sentral film Saur Sepuh, karena kembali mengetengahkan kisah tiga tokoh utamanya, yaitu Prabu Brama Kumbara (Fendi Pradana), adiknya Mantili (Elly Ermawatie), dan Lasmini (Murti Sari Dewi).

Biksu Kampala dan Biksu Targhu, dua biksu pengelana dari negeri Tibet hadir di Kerajaan Madangkara untuk mengenal kerajaan yang kecil namun makmur bersahaja yang dipimpin Prabu Brama Kumbara tersebut. Namun kehadiran mereka justru dianggap sebagai musuh setelah Lasmini menyebarkan isu bahwa Kampala datang untuk membunuh Prabu Brama Kumbara.

Isu Lasmini tersebut akhirnya menebar kekacauan dimana pun Biksu Kampala dan Biksu Targhu hadir. Mantili menyadari niat buruk Lasmini yang mengail di air keruh dan membuat Lasmini marah setelah utusannya, Kijara dan Lugina tewas di tangan Mantili. Mantili akhirnya menyadari kekeliruannya dan kemudian meminta Brama Kumbara supaya turun tangan untuk menyelesaikan semuanya. Di akhir cerita, Raden Bentar dititipkan oleh Prabu Brama Kumbara ke dalam asuhan Biksu Kampala untuk mendalami ajaran Buddha di negeri Tibet.

Share This

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Designed By Blogger Templates