Sejarah Pondok Pesantren Al Muayyad (2)

Sejarah Pondok Pesantren Al Muayyad (2)


Masjid di tengah kompleks Al-Muayyad, dibangun mulai bulan Maret 1942, bersamaan dengan kedatangan balatentara Jepang di tanah air. Batu penyangga keempat tiang utama (saka guru) masjid ini berasal dari saka guru bekas kediaman Pangeran Mangkuyudha. Tahun 1947 dibangun asrama putra dengan 12 kamar. Begitu selesai, meletus Agresi Belanda I. Para santri dan kiai pejuang mendapatkan informasi bahwa Tentara Pendudukan akan menjadikan asrama santri itu sebagai barak.

Kiai-kiai sepuh menasihati agar para santri tabah dan bersedia berkorban. Bangunan permanen yang masih baru tersebut terpaksa dirusak agar tak layak huni. Dengan berat hati para santri memecah genting, mendongkel pintu dan jendela, mengikis dan mencoret-coret tembok dengan arang, memiringkan tiang-tiang, dan bahkan mananami halaman dengan rumput, singkong, dan sayuran secara tidak teratur untuk menempatkan kesan bahwa pondok itu tak layak huni sebagai barak tentara. Dan benar, asrama tersebut tidak jadi digunakan sebagai barak. Dalam situasi yang secara sembunyi-sembunyi dengan penerangan lampu kecil minyak tanah (ublik).

Justru karena letaknya di tengah kota dan sarat dengan nuansa keagamaan, Al-Muayyad tidak tampak sebagai tempat berhimpun para pejuang, baik yang bergabung dalam kesatuan Hizbullah, Sabilillah, maupun Barisan Kiai.

Setelah situasi tenang dengan kemenangan di pihak Tentara Nasional Indonesia, tahun 1952, asrama tersebut dibangun kembali. Masjid diperluas hingga hampir dua kali lipat. Para santri berdatangan dari berbagai daerah yang lebih jauh. Namun situasi tenang ini tidak berlangsung lama, sebab agitasi PKI tahun 1960-an membangkitkan suasana perjuangan di kalangan santri dan kiai Al-Muayyad. Pondok menjadi ajang pelatihan Banser (Barisan Ansor Serbaguna) dan Fatser (Fatayat Serbaguna).

Tragedi nasional G30S/PKI tahun 1965, sempat melumpuhkan kegiatan mengaji para santri. Sebagian aktif bersama-sama ABRI menumpas G30/SPKI, dan sebagian lagi diminta pulang untuk menjaga keamanan. Alhamdulillah tragedi berakhir dan suasana tenang kembali tercipta.

Refleksi atas sejarah tersebut melatarbelakangi para santri dan pengasuh Al-Muayyad untuk menyebut almamaternya sebagai Kampus Kader Bangsa Indonesia (KKBI).

Ciri khas K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan di bidang kepemimpinan adalah kuatnya kaderisasi para kerabat, ustadz, dan santri dengan membagi tugas dan tanggung jawab kepesantrenan kepada mereka. Beliaulah yang memprakarsai pembentukan Lembaga Pendidikan Al-Muayyad (yang kemudian menjadi yayasan), penyelenggaraan Pelatihan Teknis Tenaga Kependidikan bagi sekolah/madrasah Ahlussunnah wal jama’ah dan Pekan Pembinaan Tugas Ahlussunnah wal jama’ah (PEPTA). Dimasa beliau pula Al-Muayyad menjadi anggota Rabithah al Ma’ahid al Islamiyyah (RMI/Ikatan Pondok Pesantren) dengan Nomor Anggota: 343/B Tanggal: 21 Dzul Qa’dah 1398 H/23 Oktober 1978 M di bawah pimpinan K.H. Achmad Syaikhu.

Generasi Ketiga

Setelah K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan wafat tahun 1980, dalam usia 63 tahun, kepemimpinan Al-Muayyad diserahkan kepada K.H. Abdul Rozaq Shofawi. Beliau nyantri di Krapyak Yogyakarata di bawah asuhan K.H. Ali Maksum sambil kuliah di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga dan juga pada K.H. Hasan Asy’ari Mangli Magelang. Selesai nyantri pada Mbah Mangli, tepat tiga tahun, K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan wafat.

Ibunda K.H. Abdul Rozaq Shofawi adalah Nyai Siti Musyarrofah binti K.H. Abdul Mannan, seorang hafidzah pada usia 16 tahun, yang diperistri K.H. Ahmad Shofawi setelah istri pertama wafat. Dari pernikahan itu lahir K.H. Abdul Rozaq Shofawi, Nyai H. Siti Mariyah Ma’mun, dan Siti Mun’imah yang wafat pada usia 35 hari, 30 hari setelah ibunda wafat.

Setelah Nyai Siti Musyarrofah wafat K.H. Ahmad Shofawi memperistri Nyai H. Shofiyah binti K.H. Ahmad Mu’id dan menurunkan K.H. Abdul Mu’id Ahmad, H. Muhammmad Idris Shofawi, serta Nyai H. Siti Maimunah Baidlowi.

Atas nasihat K.H. Muhammad Ma’shum Lasem Rembang, sepeninggal K.H. Ahmad Shofawi, Nyai H. Shofiyah diperistri oleh K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan. Pernikahan ini tidak dikaruniai seorang putra pun.

Termasuk kejadian penting yang selalu diingat dalam generasi ketiga ini adalah terbakarnya kompleks pondok tanggal 31 Agustus 1982, 15 hari sebelum keberangkatan pengasuh dan tujuh sesepuh Al-Muayyad ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji, yang menghabiskan 13 kamar santri, dapur santri, kediaman pengasuh, dan perpustakaan K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan yang menghimpun ribuan kitab dan bahan pustaka yang tak ternilai harganya.

Musibah besar ini mengundang simpati besar masyarakat yang bergotong royong memberikan penampungan, keperluan makan minum, dan keperluan sekolah bagi 275 santri putra yang kehilangan tempat tinggal dan perlengkapannya. Masyarakat juga bahu membahu dengan pengurus merehabilitasi asrama dan kediaman pengasuh, sehingga dalam waktu 40 hari bangunan-bangunan itu telah pulih kembali.

Dalam generasi ketiga inilah, Al-Muayyad melestarikan sistem kepesantrenan yang diidam-idamkan dan dikembangkan oleh dua generasi pendahulu. Yayasan yang menjadi tulang punggung manajemen pesantren diaktifkan, sehingga pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab para pengelola bisa dibakukan. Dengan pola semacam itu, Al-Muayyad berkeinginan mampu mewadahi dukungan masyarakat luas bagi penyiapan generasi muda dalam wadah pesantren dengan manajemen terbuka, karena pesantren sesungguhnya milik masyarakat.
Secara singkat tahap-tahap perkembangan Pondok Pesantren Al-Muayyad adalah sebagai berikut:

1930-1937 : Pengajian Tasawuf
1937-1939 : Pengajian Al-Quran
1939 : Berdiri Madrasah Diniyyah
1970 : Berdiri MTs dan SMP
1974 : Berdiri Madrasah Aliyah
1992 : Berdiri Sekolah Menengah Atas
1995 : Berdiri Madrasah Diniyyah Ulya

Dengan demikian memusatnya sistem pendidikan nasional pada Departemen Pendidikan & Kebudayaan dan untuk mengembangkan rintisan serta ikhtiar mewujudkan idaman K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan di bidang kurikulum, maka diselenggarakan Lokakarya Kurikulum Al-Muayyad pada bulan September 1991 yang menjadi Madrasah Diniyyah Al-Muayyad sebagai tulang punggung tafaqquh fid-din (pendalaman ilmu-ilmu agama).

Madrasah Diniyyah ini bersama-sama pengajian Al-Quran, sekolah dan madrasah berkurilkulum nasional, serta kegiatan kepesantrenan lainnya, menempatkan Al-Muayyad dalam keaktifan dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia, khususnya di bidang pendidikan, sejalan dengan panggilan untuk menyerasikan pola pesantren dengan system pendidikan nasional.

Untuk menjawab tantangan pembangunan nasional mendatang, pondok pesantren ini dituntut terus mengembangkan diri. Lahan di kompleks Mangkuyudan yang hanya seluas 3.650 m2 sudah tidak memadai lagi untuk mewadahi perkembangan jumlah santri dan satuan pendidikan yang dirintis, sehingga dukungan besar dari semua pihak sangat diperlukan.

Pengembangan di Windan

Tanggal 18 Nopember 1994 K.H. Abdul Rozaq Shofawi mendapatkan informasi bahwa sebuah kompleks di kampung Windan, Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo (kurang lebih 4 km sebelah barat Mangkuyudan) yang semula dipergunakan untuk penyelenggaraan pondok pesantren, akan dilelang oleh sebuah bank. Kompleks itu ditawarkan kepada Al-Muayyad untuk pengembangan. Setelah cukup dibahas oleh pimpinan yayasan dan dikonsultasikan kepada para sesepuh, pada tanggal 23 Nopember 1994, Al-Muayyad resmi membeli kompleks seluas sekitar 2.050 m2 itu seharga Rp 123.000.000,00 dihadapan notaris Ny. H. Nur Fariah Latief, SH.

Di kompleks tersebut berdiri 48 kamar santri, sebuah musholla, pemondokan pengasuh, aula, 3 kamar ustadz, halaman olah raga, dan dapur. Dan mulai tahun ajaran 1995/1996 kompleks Windan dipergunakan untuk kegiatan pesantren yang dalam jangka panjang akan menjadi pondok pesantren yang lengkap dengan sekolah dan madrasah.

Share This

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Designed By Blogger Templates