Saut: GM Gak Mau Lihat Indonesia Makmur

Saut: GM Gak Mau Lihat Indonesia Makmur


Berikut salah satu fragmen dari wawancara panjang yang dilakukan tim Kamarbudaya.com dengan Saut Situmorang, 9 Februari 2014.

Anda ini rajin menyerang genk Salihara. Apa sih Salihara itu?

Salihara kan versi terakhir. Awalnya kan Komunitas Utan Kayu. Di situ ada Teater Utan Kayu, Lontar, Institut Studi Arus Informasi, dan macam-macam yang lain. Yang kami serang kan kegiatan sastranya.

Alasannya?

Publik sudah tahulah. Mereka melakukan dominasi dalam sastra Indonesia. Misalnya dengan mengirimkan sastrawan-sastrawan Indonesia ke luar negeri. Kacaunya, yang dikirim itu dari komunitas mereka saja. Contohnya di Program International Writing di Iowa. Kalau zaman Orba kan diseleksi Dewan Kesenian Jakarta, sehingga yang berangkat ke sana beragam sastrawannya serta dari berbagai daerah. Nah, setelah Orba ambruk, yang nyeleksi kan Komunitas Utan Kayu. Yang dipilih temennya doang.

Dulu dari komunitas saya memang pernah ada yang dikirim, Meidi Lukito. Bareng sama Sitok waktu itu. Itu kalau gak salah tahun 2001. Tapi setelah itu yang dikirim orang-orang mereka semua. Ada juga itu Nirwan Dewanto. Ia dikirim ke sana. Aku gak tahu sejak kapan Nirwan jadi penyair.

Maksudnya Nirwan maqamnya belum penyair atau bagaimana?

Ya, saya ndak tahu kalau Nirwan itu penyair. Karyanya mana? Memang kamu pernah baca karya dia?

Tapi itu kan sastra secara umum, tidak harus penyair?

Iya tahu. Tapi di situ Nirwan ditulis penyair. Ya kalaupun bukan penyair, kalau sastrawan, sastrawan apa?

Dia kan redaktur sastra.

O, ndak bisa. Iowa bukan program jurnalistik. Ini program sastra. Kalau sebelumnya jelas, Meidi penyair. Sitok juga penyair. Orang kenal mereka penyair. Buku mereka ada. Nirwan Dewanto mana karyanya? Ndak ada yang tahu. Ini ndak fair. Bayangkan, kayak Nirwan ini dikirim sebagai duta sastra dari Indonesia. Mewakili sastrawan Indonesia?

Terus ada lagi, waktu Prince Clause Award tahun 2000, tiba-tiba Ayu Utami menang. Kok bisa? Padahal Prince Clause Award ini dianugerahkan bagi karier seorang seniman yang reputasinya teruji. Makanya seniman Indonesia yang pernah dapat adalah Heri Dono dan Sardono. Jelas to? Mereka ini pantas kan? Tiba-tiba tahun 2000 Ayu Utami menang? Aneh ini. Alasannya macam-macam. Inilah, itulah.

Maksudnya Ayu Utami nggak pantas begitu?

Ya enggaklah. Saman kan belum diterjemahkan dalam bahasa Belanda. Darimana juri bisa tahu? Terus, karier dia apa? Sebelum nulis Saman memangnya ngapain dia. Ini soal karir. Harus ada yang dilihat apa yang sudah dikerjakan. Kalau Heri Dono atau Sardono, wajarlah. Bisa dilihat. Mereka juga konsisten di masing-masing bidangnya. Lha ini Ayu Utami? 

Jadi kenapa Prince Clause bisa sampai meloloskan Ayu?

Lha itu persoalannya. Setelah kita periksa ternyata di Dewan Prince Clause Award ini ada nama Goenawan Mohamad. Ngeri nggak? Tambah parah ini. Persoalannya lagi, kok GM bisa duduk di situ, di organisasi asing itu? Itu kan nggak kebetulan.

Gak cuma itu. Bahkan pernah juga, tahun 2006 di Israel, Goenawan menang dalam Dan David Prize. Kalau satu orang menang hadiahnya satu juta dollar. Tahun 2006 ada empat pemenang, jadi dibagi empat. Rata-rata jurnalis pemenangnya. Salah satunya adalah GM itu. Tahu gak alasannya kenapa GM dimenangkan? Katanya, dia adalah salah satu pemikir Islam moderat. Terus kapan dia pernah memikirkan Islam? Kapan dia pernah menulis tentang Islam? Ini pemikir Islam lho. Berat lho. Dan disebut juga dia penulis prosa dan puisi eksperimental.

Sakti banget GM ini.

Sakti dong. Dia bisa melakukan banyak hal dan di mana-mana. Artinya, gak mungkin dia sendiri. Pasti dia dibantu kan. Tentu ada kepentingan di belakangnya. Di sinilah perlunya kita membaca buku Wijaya Herlambang Kekerasan Budaya Pasca 1965.

Jadi siapa sebenarnya GM itu?

Begini. Dalam buku Wijaya Herlambang ditulis, jauh sebelum Manikebu dideklarasikan, untuk mempromosikan liberalisme sebagai upaya melawan komunisme di bidang kebudayaan, pemerintah Amerika Serikat mendirikan Congress for Cultural Freedom di Berlin pada 1950 melalui agen CIA Michael Josselson. Misinya jelas. Agar para seniman dan intelektual di seluruh dunia lepas dari komunisme. CCF dikendalikan oleh unit khusus CIA dengan nama Office of Policy Coordination yang dikepalai Frank Wisner.

Rata-rata pendukung Manikebu adalah orangnya. Tapi hanya Mochtar Lubis saja yang berani secara jantan mengakuinya. Dia anggota Dewan CCF. Yayasan Obor juga dibiayai oleh CCF.

Terus tahun 65 Goenawan dikirim ke Belgia. Alasannya kuliah. Ternyata di sana dia menggantikan posisi Arif Budiman. Setelah beberapa bulan di sana Arif memutuskan untuk pulang, alasannya waktu itu pacarnya, istrinya sekarang, minta kawin atau gimana semacam itulah. Pertanyaannya, siapa yang mengirim GM ke sana? CCF. Ada Ivan Kats di situ.

Di blognya GM sudah menuliskan hubungannya dengan Kats biasa biasa saja.

Ya tentu gak akan mengaku. Tapi dokumen-dokumen ada. Dan Kats orang CIA yang bekerja untuk CCF. Jadi memahami GM gak bisa sepenggal-sepenggal. Pernah dia nulis, di majalah dia itu, Tempo itu, tahun 71, dia mengejek-ejek akademisi Amerika, David Ransom. Ransom adalah orang yang pertama kali menulis tentang Mafia Berkeley: The Mafia Berkeley and the Indonesian Massacre. Menurut Ransom, mafia Berkeley ini gak mau kalau Indonesia menjadi makmur.

Bayangin, di tahun itu sudah ada yang kritis soal itu. Kita semua tahulah Mafia Berkeley itu apa. Ransom sudah menjelaskan dengan detil siapa itu Berkeley dan kaitannya dengan lembaga-lembaga di Amerika. Lucunya, Goenawan malah menyerangnya. Ha ha ha... Sudah jelas kan? Dari sini kan sudah bisa dibaca siapa itu GM. Cobak pikir, ada orang yang menulis bagus tentang negerimu kok diserang? Berarti GM gak mau melihat Indonesia makmur kan?

Satu buku lagi yang membenarkan kiprah Berkeley adalah bukunya John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man. Ia pernah ditugaskan di Jakarta. Kerja dia, ya mengacaukan ekonomi sebuah negara! Supaya negara tersebut bisa diatur oleh Bank Dunia, IMF, yang semuanya menguntungkan Amerika. Di sinilah posisi Goenawan Mohamad itu menarik untuk dipelajari. Jelas Goenawan Mohamad adalah pendukung serius dari Mafia Berkeley dan kebijakan ekonomi Neoliberal mereka! Begitu seriusnya Goenawan Mohamad membela Mafia Berkeley, kebijakan ekonomi Neoliberalnya dan pihak asing di belakang keduanya, yang sekarang kita tahu adalah Amerika Serikat.

Goenawan Mohamad sebagai tokoh Manifes Kebudayaan yang sangat terlibat atas kekerasan budaya di Indonesia pasca-1965 (dan pembelaan dirinya yang sok ngonteks-sejarah tapi sangat anti-historis itu), maka eseinya yang ditulis di Tempo tahun 71 itu adalah sampah sejarah yang akan terus mengotori wajah “budayawan”nya yang pretensius itu! 

Sumber: kamarbudaya.com

Share This

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Designed By Blogger Templates