Sejarah Sakola Istri

Sejarah Sakola Istri


SAKOLA Kautamaan Istri, yang sekarang menjadi Sekolah Dewi Sartika, didirikan oleh Raden Dewi Sartika pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda. Tepatnya pada 16 Januari 1904, sekolah ini berdiri dengan nama “Sakola Istri”.

Sebelum mendirikan sekolah, Raden Dewi memang sudah senang mengajar, meski tanpa dinaungi lembaga resmi berlabel sekolah. Sekitar tahun 1902, Dewi Sartika mulai mengajarkan keterampilan-keterampilan seperti merenda, memasak, menjahit juga membaca dan menulis kepada saudara-saudaranya.

Kegiatan ini tercium oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun, ternyata kegiatan ini justru didukung oleh C. Den Hammer, Inspektur Pengajaran Hindia Belanda saat itu dengan menyarankan Raden Dewi menemui R.A. Martanegara yang saat itu menjadi Bupati Bandung untuk mendukung pendirian sekolah wanita bagi pribumi.

Bupati Bandung akhirnya menyetujui permintaan ini. Ia pun mengizinkan Dewi Sartika menggunakan ruang Paseban Barat di halaman depan rumah Bupati Bandung sebagai tempat mengajar. “Sakola Istri” akhirnya berdiri dengan 60 siswi yang berasal dari masyarakat kebanyakan. Pengajar sekolah ini adalah Dewi sartika sendiri, dibantu saudara misannya Nyi Poerwa dan Nyi Oewit.

Semakin lama sekolah ini semakin berkembang. Murid semakin bertambah, pelajaran pun beragam, seperti membatik dan bahasa Belanda. Ruangan kelas pun tak lagi cukup, hingga sekolah ini dipindah ke Jalan Ciguriang-Kebon Cau (sekarang Jalan Kautamaan Istri) setahun setelah berdiri.

Tahun 1910 sekolah ini berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri. Diambil dari nama perkumpulan bentukan Residen Priangan yang mendukung pengembangan dan pembangunan sekolah wanita bumi putera saat itu. Nama ini pula yang sekarang dipakai sebagai nama jalan tempat sekolah ini berada.

Pada masa penjajahan Jepang, sekolah ini diambil alih dan diganti menjadi Sekolah Gadis No. 29, setelah sebelumnya sempat bernama Sekolah Raden Dewi. Saat itu, semua sekolah dasar dijadikan sekolah rakyat oleh Jepang. Namun, Dewi Sartika menolak terlibat dalam sekolah bentukan Jepang, karena kurikulumnya harus berubah, tak lagi khusus kewanitaan. Sekolah pun ditutup hingga akhirnya bisa dibuka kembali oleh Yayasan Raden Dewi Sartika pada tahun 1951.

Selama dikelola yayasan, nama sekolah ini juga sempat berganti nama beberapa kali menjadi Sekolah Guru Bawah (SGB) Puteri (1951), Sekolah Kepandaian Puteri (SKP) Dewi Sartika (1961), Sekolah Kejuruan Kepandaian Putri (SKKP) Dewi Sartika (1963). Bahkan lokasinya sempat berpindah ke Jalan Cibadak, saat sekolah digunakan sebagai markas tentara Siliwangi. Sekarang, sekolah ini telah menjadi SD dan SMP Dewi Sartika, adapun TK berada di lokasi berbeda.

Hingga kini bangunan asli sekolah, yang terdiri dari enam kelas masih dipertahankan dan digunakan sebagai lokal belajar siswa SMP. Satu dari enam kelas tersebut dijadikan “museum”. Peralatan dalam kelas, seperti bangku, masih asli sejak sekolah didirikan. Di kelas ini juga dipasangi foto Dewi Sartika saat masih mengajar. Ciri khas bangunan asli ini adalah tiang-tiang penyangga yang terbuat dari kayu dan jendela dari ram kawat.

Perbaikan dan pemeliharaan dilakukan tanpa mengubah bentuk asli bangunan. Di luar sekolah, ada dua tugu penanda sebagai penghargaan kepada Dewi Sartika. Satu tugu berbentuk obor dibangun oleh tentara Siliwangi dan satu lagi penanda situs yang diresmikan oleh Prof. Dr. Haryati Soebadio, Dirjen Kebudayaan pada tahun 1982.

Share This

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Designed By Blogger Templates