Sifat apakah gerangan yang tak melekat pada Tuhan? Segalanya ada, dari yang masuk akal macam Al-Fattah (Sang Pembuka) dan Al-Razzaq (Sang Pemberi Rezeki) hingga yang tak mampu kita cerna macam “Yang Maha Semau Gue”.
Tanggal 11 Maret 2016, saya mengundang Mbah Gus Mus (K.H. A. Mustofa Bisri) mengisi pengajian di kampung Tegalsari Banguntapan. Di antara dera musim penghujan yang selalu menerkam bumi Jogja setiap jelang sore, hari Jum’at itu pun basah sejak siang hari. Sekira pukul 16.00, cuaca serentak terang, sangat benderang, sampai dini hari seusai pengajian, lalu kembali hujan. Cuaca ajaib ini sungguh tak masuk di akal, tetapi begitulah bila Tuhan menghendaki sesuatu terjadi, kun fayakun, terjadilah, sebab Dia benar-benar adalah Dzat Yang Maha Semau Gue.
Istilah ini saya adopsi dari guyonan Gus Mus yang disambut gerr tiga ribuan hadirin. Tentu saja, pangkat “Yang Maha Semau Gue” ini benar secara substansial, karena Tuhan memang selalu Yang Maha Kuasa. Apa yang musykil bagi kita sangatlah mudah bagi-Nya.
Sifat prerogatif ini semestinya memang hanya selalu menjadi milik-Nya. Privat dan absolut. Sifat ini akan tiba-tiba menjelma sangat problematis dan destruktif bila dirampas oleh manusia, siapa pun, atas nama apa pun, termasuk pekik atau caption membela Tuhan. Dan, ironisnya, situasi demikianlah kini yang sangat runyak dipanggungkan oleh mayoritas kita.
Lepas dari keragaman dogmatis yang diyakini Benar oleh setiap umatnya, kita tahu, semua agama dan keyakinan hanya sepenuhnya manashihkan kebaikan dan kemanusiaan. Segala bentuk praktik kekerasan dan keburukan adalah musuh semua agama dan keyakinan. Budha, misal, mengajarkan meditasi “kesunyian laut di dalam batin” sebagai jalan menuju Puncak Pencerahan; Kristen mengenalkan pangkat santo untuk menunjuk sosok suci; Taoisme mengajarkan jen-i –setamsil wahdlatul wujud dalam mistisisme Ibn ‘Arabi dan Cinta dalam sufisme Maulana Rumi.
Cara kita beragama kini, khususnya berislam, dengan memanggulkan sifat asali Tuhan –Yang Maha Semau Gue tadi—ke pundak kita dalam tingkatan sosial yang plural macam bangsa ini telah melesatkan berbagai masalah disharmoni yang mutlak menabrak risalah kebaikan dan kemanusiaan itu sendiri. Akhlak karimah terjungkalkan. Tawadhu’ terkuburkan. Ukhuwah terinjak-injak.
Atas nama klaim kebenaran (truth claim) yang disponsori berahi klaim keselamatan (salvation claim), lalu ditashih dengan nalar ugal-ugalan pada, misal, ayat dakwah, tertampillah postur Islam kekinian yang keras, galak, pemaksa, dan semau gue.
Penggerudukan, penyerangan, razia, pemaksaan, ditingkahi pentungan dan bahkan penumpahan darah, begitu enteng dirayakan sebagai “jalan membela agama Allah”. “Anda yang berbeda adalah sesat dan harus kami luruskan agar kembali ke jalan yang benar,” begitu bendera yang dikibarkan penuh bangga layaknya pejuang yang siap syahid dan dirindukan surga beserta 70 bidadarinya yang selalu perawan.
Jika Alqur’an saja dengan benderang menyatakan: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”, “Jika Allah menghendaki maka seluruh manusia akan dijadikanNya satu umat”, dan “Ajaklah mereka kepada jalan Allah dengan cinta”, lantas bagaimana mungkin kita sanggup hati memanggungkan kekerasan atas nama-Nya?
Inilah perkara terbesar prilaku beragama kita hari ini. Kita kian kehilangan watak muru’ah, tawadhu’, dan tarahum dalam memaknai perbedaan akibat terlalu lahapnya mengasup risalah-risalah agama pada link-link antah berantah belaka yang tidak jelas sanad ilmunya. Jadilah kita individu-individu dangkal yang merasa dalam, selokan yang merasa lautan. Jadilah kita para si pongah. Dampak mengerikan dari arogansi manusia yang tega merampas sifat “Yang Maha Semau Gue” Tuhan itu ialah keberaniannya mengobarkan perpecahan, permusuhan, tirani mayoritas, dan seabrek luluh-lantak kemanusiaan.
Seyogianya kita senantiasa mafhum benar bahwa membela Tuhan tidaklah sama dengan memaksa orang lain sepaham dengan pandangan dan keyakinan kita. Apa yang kita yakini sebagai “jalan kebenaran Tuhan” semestinya selalu kita tempatkan hanya sebagai “satu jalan di antara ribuan jalan lainnya”.
Kita selayaknya pula selalu andap asor bahwa perihal hidayah sepenuhnya mutlak hak prerogatif Tuhan, bukan manusia. Nabi Muhammad saw. bahkan tak pernah berhasil mengislamkan Abu Lahab yang notabene adalah paman dan tetangga bersebelah tembok. Nabi Nuh as. pula tak berhasil menjadikan anaknya beriman kepada ajarannya. Nabi Ibrahim as. pun gagal menjadikan ayahnya sendiri menjadi pengikut ajarannya.
Hindun yang amat membenci Islam sampai tega membelah dada Hamzah, paman Nabi, dan memakan jantungnya dengan buas, siapa nyana kemudian memeluk Islam dan mengatakan, “Dulu aku membencimu, Nabi, seluas langit dan bumi; kini aku mencintaimu seluas langit dan bumi.” Demikian pula sosok Umar bin Khattab dan Abu Sufyan yang keras melawan Nabi lalu memeluk dan membela Islam dengan sepenuh jiwanya.
Adakah yang perlu kita ragukan dari gigihnya dakwah para nabi agung itu dan kedalaman doa-doanya sampai gagal menjadikan beriman orang-orang dekat di sekitarnya? Masih kurangkah keperkasaan tentara Nabi kala Fathul Makkah yang tak pernah ia jadikan kesempatan memaksa semua orang Quraisy Makkah memeluk Islam seketika? Lantas, apakah gerangan sebenarnya pangkat dan hak kita untuk memaksa, mengancam, menyerang, dan mementungi orang-orang yang tidak seiman atau berbeda paham?
Serentak saya teringat puisi Maulana Rumi: “Kemarin aku pintar, maka aku berupaya mengubah dunia. Hari ini aku bijaksana, maka aku berupaya mengubah diriku sendiri.” Saya juga teringat narasi Tao Te Ching tentang “Kebajikan Tinggi” dan “Kebajikan Rendah”, “Seorang manusia yang memiliki Kebajikan Tinggi tidak menyadari Kebajikannya. Itulah mengapa dia memiliki Kebajikan. Seorang manusia yang memiliki Kebajikan Rendah berusaha keras untuk tidak kehilangan Kebajikannya. Itulah mengapa dia tidak memiliki Kebajikan.”
Kebijaksanaan, inilah kata kuncinya; bahwa kita hanyalah manusia nisbi, bukan Tuhan Yang Serba Maha, yang sama sekali tak pernah pantas untuk memanggul sifat “Yang Maha Semau Gue” Tuhan atas nama apa pun. Tuhan saja begitu santai atas keragaman perilaku manusia, dari yang alim bagai nabi sampai durja bagai jelaga, lalu kenapa kita sebegitu repotnya?
Sumber: Jawa Pos